Review KMI-Roket Edisi 1 oleh Dominic Brian



Note:
  • Blog ini bukan punya Dominic Brian!
  • Beberapa bagian review ini ada yang subjektif
  • Karena ini Review, jelas agak mengandung spoiler
  • KMI Roket menerima karya komikus amatir, jadi jangan terlalu berekspentasi tinggi.




Review

Review KMI-ROKET, maaf kalau ada yang kurang berkenan atau jelas, aku belum begitu biasa review-review soalnya.

The Chronicles of Seven - Rei's Story

by: Seven Studio

Menurutku secara story dan art, ini meningkat dibandingkan dengan TCOS itu sendiri, apa mungkin karena dikerjakan dalam waktu yang berbeda? Unsur shonennya memang kerasa sih, paling action dan seru dari semua cerita di buku ini.
Untuk kritikan, mungkin tidak diperlukan tulisan kecil yang menjelaskan objek (misalnya Falcon, dari konteksnya kelihatan kalau ini benda penting) atau binatang (Tarsius juga, kelihatan kalau dia membawa pesan dan larinya cepat, tidak perlu dijelaskan, peraturan "show don't tell"). Lalu semua segel-segel yang Rei buat di halaman 24 (ini menghitung dari awal chapter, bukan buku), itu kapan dia buatnya (banyak sekali soalnya)? Apa di halaman 21 panel-panel tengah? Panel2 di 24-25 juga banyak sekali menurutku, bingung bacanya.
Terakhir, Berlin rasanya bukan nama yang cocok utk night elf karena konotasinya langsung mengarah ke ibukota Jerman, nggak terkesan fantasy.





Timun Mas Vs Buto Ijo

by: Syahyunita

Aku sendiri tidak begitu bisa menulis cerita komedi dan karena selera humor tiap orang berbeda, ini sepertinya akan sangat subjektif. Sebagai adaptasi Timun Mas yang "nyeleneh", ini bagus dan kreatif, terutama Timun Mas yang punya saudara Singkong dan Duren Mas, juga si Mak yang koleksi macam-macam anak Mas dari berbagai Buto. 
Cuma komedi-komedinya tidak begitu sesuai seleraku, tipe komedi yang "rapid fire" (joke-joke yang dilemparkan secara beruntun). Tapi mungkin bisa memuaskan mereka yang suka dengan komedi seperti ini, tone dan artnya juga cukup rapi.







 

   

Ngobrol Sama Deadline

by: Dhen De Nauli 

Artnya unik, itu yang pertama kali terlintas pas aku pertama kali lihat. Meski full manual (?), stylenya konsisten jadi bisa terbiasa. Ceritanya juga menarik, kelihatannya semi-autobiografial (minus Reaper-deadline yang keberadaannya kayaknya akan dijelaskan nanti). Mungkin beberapa orang tidak akan suka artnya, tapi aku suka.

 

 

 

 

 

 

 

Guild

by: Tubagus Irfan Novianto

Sayangnya ini salah satu komik terlemah di buku ini menurutku. Mulai dari storynya, settingnya sangat fantasy standar game-game MMORPG, seperti keberadaan Guild-Guild seperti Dream Chaseur itu sendiri (tidak begitu dijelaskan apa pekerjaan mereka, tapi kayaknya melibatkan fighting-fighting), para karakter juga tidak begitu memorable, Panca Wira masih terkesan "pahlawan muda yang bersemangat" dan "Sang Raja" (yang mengatakan "kurang ajar" 4 kali dalam jangka 12 halaman) sangat terkesan seperti "pemerintah jahat yang melakukan ini-itu karena dia jahat tanpa sifat-sifat lain" (kayak karakter-karakter penjahat di kartun anak-anak, apalagi di endingnya dimana dia hanya teriak "Chh!! Siall!!").
Untuk dunia fantasy, semestinya tidak perlu menamai tempat-tempatnya sama seperti di dunia nyata (kenapa Colosseum? Romawi kan tidak ada di setting ini, paling tidak diberi nama seperti "Arena XXX"), bukannya malah punya kebebasan bikin nama-nama fiksi? Untuk art, juga masih kurang memuaskan karena masih terkesan monoton/polos.
Di halaman 12 (cover chapter dihitung sebagai 1), Barktigo kelihatan mempunyai rambut hitam (dan kayaknya bukan karena dia dalam bayangan), tapi di lanjutan2nya dia berambut putih. Halaman 19 mungkin yang menunjukkan kemontonan (Mengancam > Menantang > Menyerang > Mengatakan nama jurus tapi dihindari > Dihajar balik > Ditendang). Omong-omong soal nama jurus, halaman 11, kenapa Frecce Esplodono bukannya diberikan terjemahannya (bahasa Italia) yaitu "Exploding Arrow" malah ditulis "nama jurus"? Tulisan sound effectnya menurutku juga kurang greget, masih pakai font standar.



Beat and Scream for Hilarity

by: Tom Capung 

Ada teman yang pernah bilang kalau genre musik itu tidak bisa ditebak jadi menarik untuk diikuti, dan aku juga setuju. Karena musik adalah media audio sementara komik adalah media visual, komik-komik musik biasanya lebih memfokuskan kepada karakter-karakter dibandingkan musiknya. Para karakter sejauh ini cukup menarik dan aku ingin tahu kelanjutannya.
Joke kecelakaan di halaman 33 itu adalah joke terlucu di buku ini menurutku. Art juga beda dari yang lain, banyak garis-garis tebal yang seakan-akan memberi penekanan kepada cerita, cuma karena ketebalan itu kadang sound effect bisa menutupi cukup banyak hal di panel (halaman 6 contohnya). Aku penasaran sama lanjutannya. 









Buku Ingatan

by: Eka Nurastuti 

Framing storynya bagus (cerita di dalam cerita), cuma sayangnya itu jadi titik kelemahan cerita ini. Karena di cerita katanya moralnya adalah "jangan serakah" dan "berani mengambil keputusan" yang pada akhirnya menyemangati Dido untuk melanjutkan perjuangan almarhum temannya, tapi moral yang kudapat malah "jangan ngebully naga sakti kalau tidak mau satu desa ditenggelamkan massal" (atau alternatifnya, jangan sombong/angkuh dan tidak menghargai orang lain yang berbeda, membantu dan saling tolong menolong tanpa memandang jenis/ras/fisik itu baik). Bahasa Inggris di awal cerita juga masih terkesan kaku, masih bisa diimprove lagi. Tapi gimanapun juga, aku suka cara mempresentasikannya (semangat karena dongeng masa kecil), sayang belum dihandle dengan baik.









Aji Saka

by: Rie Una 

Karena cerita Aji Saka itu sendiri cukup populer di kalangan cerita rakyat, aku rasa tidak ada hal baru di komik ini selain menceritakan kisah Aji Saka itu sendiri dalam bentuk komik dan menggabungkan cerita Dewata Cengkar dan Dora-Sembodo (ini terkesan disambungkan dengan paksa karena terjadi tiba-tiba tanpa ada hint-hint sebelumnya, dan di cerita aslinya seingatku dia meminta diambilkan pusaka setelah dia mengalahkan Dewata Cengkar. Pada akhirnya juga pusaka itu sendiri tidak disebutkan atau digunakan sama sekali di cerita, jadi apa gunanya bagian Dora-Sembodo?)










From Hero to Zero

by: Ardi Wibiosono 

Karena style komedinya, ini juga tidak sesuai seleraku jadi penilaian disini juga subjektif, menurutku garing banget. Banyak joke-jokenya terlalu mengarah ke situasi saat ini (blusukan, DPR banting meja, anggaran, dll) sehingga kalau ini dibaca 1-2 tahun kedepan, nggak akan begitu ngena. Stylenya juga sama seperti Timun Mas, "rapid fire" sampai aku rasa ini lebih cocok kalau seandainya dijadikan 4koma karena biasanya di tiap akhir halaman pasti ada punchlinenya. Mungkin karena poin-poin yang disampaikan pengarangnya terlalu blak-blakan (pemerintah gak becus, meski ini nyata, juga kondisi ekonomi sekarang dan seorang motivator tertentu), menurutku komik ini salah satu bagian terlemah selain Guild.











Kesimpulan

Keseluruhannya, KMI-ROKET sudah mempunyai beberapa titik kuat, cuma masih banyak yang perlu ditingkatkan (secara pribadi, menurutku bagian storytelling melihat beberapa pengarang mungkin belum terlalu biasa membuat komik, bukan ilustrasi/komik strip), tapi seiring waktu pasti bisa kok!
 

Kesimpulan akhirnya kalau dinilai, 5/10

SEMOGA KUALITAS KMI-ROKET BERIKUTNYA LEBIH BAIK LAGI!

1 komentar:

  1. setuju sih, yang paling jadi favorit ane, ngobrol sama deadline. entah kenapa ekspresi tokoh dapat digambarkan dengan apik

    BalasHapus